Rabu, 21 Mei 2008

Arbeit Macht Frei

Indonesia adalah bangsa kuli dan kuli dari bangsa-bangsa. Pernyataan di atas sejak dahulu telah memunculkan reaksi keras dari berbagai tokoh nasionalis Indonesia pada zaman pergerakan nasional, diantaranya Mohammad Hatta. Pernyataan itu dianggap sangat menghina harga diri bangsa Indonesia yang ketika itu sedang mencoba mendapatkan kembali kemerdekaannya dari tangan Belanda. Faktanya, sejak adanya politik etis dan lahirnya UU Agraria 1870, yang mengatur tentang masalah penanaman modal di Hindia Belanda, tidak terhitung banyaknya penduduk Indonesia, terutama dari Pulau Jawa, yang mendaftarkan diri untuk bekerja sebagai kuli di perkebunan-perkebunan milik pihak swasta asing. Keadaan ini jauh lebih baik dari keadaan mereka sebelumnya, dimana banyak yang hidupnya menderita dengan adanya sistem tanam paksa, kerja paksa, dan sewa tanah. Jika tidak, tentu mereka akan lebih memilih tetap bekerja sebagai petani di kampung halamannya ketimbang harus bekerja menjadi kuli di Sumatera atau Kalimantan yang begitu jauh dari tanah kelahiran mereka.

            Sampai saat ini, paradigma yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan bangsa kuli masih tetap terjaga. Tidak hanya di luar negeri, dimana begitu banyak TKI yang bergentayangan di berbagai negara Asia, di dalam negeri pun rakyat Indonesia banyak yang menjadi kuli. Kenyataan ini membuat tokoh nasionalis Indonesia abad ini, baik yang sudah veteran maupun yang masih bau kencur, menjadi sangat terpukul dan geram. Wacana untuk mengubah paradigma itu bermunculan di berbagai media massa. Mereka yang tidak ingin melihat bangsa Indonesia menjadi kuli di negeri sendiri, berusaha keras menendang keluar investor asing dari Indonesia, seakan-akan investor asing itu telah mengulang kembali penjajahan yang dilakukan oleh Belanda beberapa abad yang lalu. UU Ketenagakerjaan yang baru seolah-olah tidak menginginkan seseorang membuka suatu usaha atau investasi di negeri ini, karena hal itu akan membuat rakyat Indonesia menjadi korban sistem perbudakan yang baru.

            Saya kemudian menjadi bertanya-tanya di dalam hati; mengapa orang Indonesia selalu menganggap para investor itu tidak ubahnya seperti anggota VOC pada tahun 1600-an? Mengapa kapitalisme selalu dianggap sebagai racun? Apakah perlu negara ini dirancang seperti Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur sebelum tahun 1990-an? Tidak tahukah kalian bahwa mereka telah melalui jalan yang begitu panjang dan berbelit-belit untuk menemukan kebenaran dari kapitalisme?

            Faktanya, penduduk Indonesia saat ini telah lebih dari 200 juta. Sementara itu, akumulasi modal dari tabungan nasional dari tahun ke tahun tetap saja tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Jadi, tenaga kerja merupakan abundant factor dan modal merupakan scarce factor. Sesuatu yang langka pastinya dihargai lebih, sedangkan sesuatu yang berlimpah nilainya tidak akan dihargai terlalu tinggi. Jika Indonesia menutup arus uang dari luar negeri dan tidak membolehkan TKI bekerja di luar negeri, maka balas jasa yang diterima tenaga kerja akan jauh lebih rendah dari balas jasa yang diterima pemilik modal. Kesimpulannya, membuka investasi asing dan membolehkan TKI ke luar negeri pastinya akan mengurangi gap balas jasa yang diterima kedua pihak. (Jika kalian belum mengerti, apa perlu saya melemparkan buku Markusen ke muka kalian?)

            Seandainya kebijakan pemerintah bersifat ramah terhadap investor, maka tingkat pengangguran di Indonesia tidak akan sebesar sekarang ini. Tidak perlulah dikotomi daulat pasar dan daulat rakyat diperdebatkan dalam masalah ini. (Kali ini justru muka saya yang dilempari buku kebersamaan dan asas kekeluargaan serta buku ekspose ekonomika oleh Pak SES.) Orang yang bekerja akan terbebas dari kemiskinan. Arbeit macht frei. Bekerja menghasilkan kebebasan. Dengan demikian, masalah pengangguran dan kemiskinan yang selama ini membelit Indonesia akan terlepas dalam sekejap.

            Orang yang tidak percaya sebaiknya merenungkan kembali peristiwa 90 tahun yang lalu. Setelah negerinya porak-poranda akibat perang, Jerman masih harus membayar 132 miliar Deutsche Mark emas (1 USD = 4 DM) sebagai ganti rugi perang. Akibat gagal membayar ganti rugi tersebut, pada tahun 1923 daerah tambang dan industri Jerman di Ruhr diduduki oleh Prancis. Setelah booming sektor perumahan pada tahun 1929, Amerika Serikat mengalami depresi ekonomi pada tahun-tahun berikutnya, yang tentu saja dampaknya merembes ke Eropa, termasuk Jerman. Sudah begitu, utang Jerman pada Amerika Serikat jatuh tempo pada awal 1930-an.

            Rakyat Jerman mulai muak pada pemerintahan konservatif yang mengusung ekonomi liberal klasik. Pilihan menjadi mengerucut pada kelompok sosialis dan fasis. Para pengusaha yang takut usahanya terancam jika kubu sosialis berkuasa, akhirnya memilih mendukung partai fasis. Pada tahun 1933, Adolf Hitler terpilih sebagai Chancellor. Setahun kemudian Presiden von Hildenburg mangkat, sehingga Hitler menjadi pemimpin tunggal di Weimar Republic. Berbagai macam propaganda dikumandangkan. Salah satu yang terkenal adalah Arbeit macht frei. Bekerja menghasilkan kebebasan. Dalam sekejap Jerman mencapai kondisi full employment, di saat Inggris dan Prancis yang mengusung paham liberal klasik masih terkepung oleh berbagai kesulitan ekonomi akibat terkena dampak resesi Amerika Serikat. (Teori ekonomi Keynesian belum ditemukan ketika itu, sehingga propaganda Hitler yang saat itu mungkin diucapkan secara asal-asalan tiba-tiba menjadi efektif untuk memulihkan ekonomi yang sedang terkena resesi. Bahkan Keynes sendiri mengaku pemikirannya terinspirasi dari situasi ekonomi di Jerman ketika itu)

            Rakyat Jerman bekerja dengan giat dan bersemangat, tak peduli ia seorang kuli atau pengusaha berdasi. Ketika Perang Dunia II berlangsung, Jerman mempunyai peralatan tempur tercanggih di dunia. Prancis ditundukkan dalam sekejap. Walaupun kapal perang dan kapal dagang Jerman diambilalih Inggris pada akhir Perang Dunia I, Jerman tetap mampu meladeni Inggris dalam pertempuran di Laut Mediterania. Walaupun Rusia memproduksi tank dalam jumlah monster, semua itu dapat dihancurkan Panzer Jerman yang jumlahnya lebih sedikit. Hanya musim dingin Rusia yang ganas yang mampu menghentikan aksi impresif Jerman, sehingga mobilitas Panzer mereka menjadi terganggu dan akhirnya harus menyerah kalah pada Sekutu.

            Jadi, mengapa kita tidak mencoba menanamkan paham bahwa bekerja menghasilkan kebebasan pada rakyat Indonesia? Bukankah jika mereka bekerja, walaupun hanya menjadi kuli, mereka akan mendapat gaji dan terbebas dari kemiskinan? Jika semua orang Indonesia harus menjadi pengusaha atau pejabat berdasi, siapa yang bertugas menanam padi? Siapa yang harus memintal benang menjadi pakaian jadi? Siapa yang harus merakit mobil atau motor? Siapa yang harus membangun perumahan dan gedung pencakar langit? Arbeit macht frei. Bekerjalah dengan giat dan bersemangat, walaupun hanya menjadi kuli. Jangan takut dihina sebagai bangsa kuli, karena negara kita nantinya akan mencapai kondisi full employment dan terbebas dari masalah pengangguran dan kemiskinan.

            Sieg Heil!


(depe'04)

1 komentar:

Garuda Merah mengatakan...

Saya juga setuju tentang indonesia ultra kanan.

Tetapi saat ini saya cenderung berpikir lebih radikal.

Sebab kadang mengikuti sistem hanya berlarut larut.

Sebagai contoh ; pembiaran FPI oleh pemerintah.. walaupun FPI hanya segelintir dari total Muslim di Indonesia.

Kelakuan mereka bisa saja memicu pertentangan bahkan perang saudara yang mungkin memecah belah Indonesia.

Kemudian tidak adanya hukuman tegas kepada koruptor.

Saya berharap ada yang berani bergabung dengan saya.

Merencanakan hukuman yang setimpal kepada mereka yang tidak cinta Indonesia, kepada mereka yang tidak mementingkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi, kepada mereka yang mementingkan golongan, kepada mereka yang tidak menghargai PANCASILA.
KEPADA MEREKA YANG MENYENGSARAKAN

SALAM GARUDA MERAH