Minggu, 18 Mei 2008

Kapitalisasi Kaum Marginal (BAGIAN 1)

Pemerintah tidak dapat semata-mata memilih ide kapitalisme atau komunisme saja seperti sedang memilih hendak menggunakan garpu dengan tangan kiri atau kanan. Haruslah diingat bahwa keduanya adalah devices untuk mencapai sesuatu, bukannya sesuatu itu. Dengan demikian pencampuran akan keduanya adalah hal yang tidak melampaui akal sehat.

Setelah masa renaissance yang kemudian bersambut oleh munculnya revolusi industri di Eropa sedikit banyak membuktikan bahwa ide kapitalisme dirujuk sebagai determinan sebuah progresivitas peradaban. Munculnya insentif terhadap para pelaku dalam sistem ekonomi pasar menghasilkan berbagai inovasi yang menunjang kemajuan. Namun, itu terjadi di Barat. Negara-negara Dunia Ketiga justru bergumam,”Why capitalism triumphs in the west and fails everywhere else?”[1]

Masalah muncul dari pengadopsian mentah-mentah sistem ekonomi pasar Barat di belahan Timur. Utamanya pada konsep hak kepemilikan (atau legalisasi hak kepemilikan modal) kaum marginal. Padahal, paling tidak ada sekitar 39,30 (17,75%) juta orang di Indonesia tergolong miskin atau marjinal pada tahun 2006[2]. Jumlah sebesar ini biasanya memiliki perlindungan yang tidak memadai dalam modal/kapital mereka; bahkan seringkali dianggap tidak legal (!).

Mengapa legalisasi property kaum marginal menjadi penting? Tentu saja, karena modal yang berputar di dalam interaksi kaum marjinal sebenarnya berpotensi menjadi sangat besar. Adalah seorang nominator Nobel Ekonomi dari Peru, De Soto, yang menggagas pemikiran ini. Dia berargumen bahwa potensi aset total kaum marjinal di banyak negara berkembang sebernarnya sangat besar. Andaikan, secara pesimis, bahwa tiap individu miskin di Indonesia memiliki aset total per hari Rp. 10.000 rupiah; ini berarti ada sekitar aset sebesar 390 miliar rupiah yang berputar setiap harinya di tangan kaum marjinal. Kalau saja aset kaum marjinal yang seringkali dianggap ilegal oleh pemerintah ini dilegalisasi, tentu saja akan memudahkan angka imajinasi 390 miliar bisa masuk dengan mudah ke dalam sistem pasar sesungguhnya. Dengan demikian, konsep egaliteristik yang kental dalam komunisme seharusnya mampu dipadupadankan dengan sistem pasar.

(oleh: Jim IE'04)



[1] Kompas, Esai-Esai Nobel Ekonomi (hal 231)

[2] diolah dari data Susenas


Tidak ada komentar: